Kearifan Lokal Menjaga Alam
Dulu saat kecil, saya sering melihat nenek mengambil daun pandan berduri untuk dibuat anyaman tikar dan tas. Dalam proses pengerjaannya menggunakan beberapa tahapan yang membutuhkan waktu beberapa hari hingga minggu.
Mulai dari pengambilan daun pandan di semak-semak, membuang durinya, didiang menggunakan bara api, dihaluskan menggunakan sembilu, diraut menjadi lembaran kecil, direndam di dalam telaga dua hari dua malam, hingga direbus menggunakan pewarna alami sehingga menghasilkan warna biru, ungu, atau merah muda sesuai pewarna dari tanaman atau tumbuhan yang digunakan. Kemudian barulah dianyam menjadi tikar atau tas sesuai yang diinginkan.
Semua tahapan itu dilakukan secara manual dengan peralatan seadanya. Namun, hal seperti ini tidak bisa saya jumpai lagi. Bahkan saya sudah jarang melihat warga menggunakan tikar pandan sebagai alas duduk. Kebanyak menggunakan tikar plastik, karpet, atau bahan lainnya buatan pabrikan. Dan bila tikar itu robek atau usang jadi sampah yang sulit teruraikan di tanah oleh mikroorganisme karena bahannya sintetis.
Orang terdahulu memanfaatkan tumbuhan yang ada di hutan dan sekitarnya dengan seperlunya sesuai kebutuhan. Inilah yang disebut sebagai kearifan lokal di mana pengetahuan dan nilai-nilai diwariskan secara turun temurun. Namun, seiring berjalanan waktu dan perkembangan zaman banyak kearifan lokal tiap daerah hilang.
Nilai-nilai yang mengajarkan kita untuk hidup selaras dengan alam dan merawat lingkungan dengan penuh tanggung jawab sirna. Semua berganti dengan serba cepat dan instan tanpa mempertimbangkan nilai-nilai yang ada. Bahkan eksplorasi terhadap alam pun marak terjadi yang menjadi ancaman bagi kehidupan generasi mendatang di bumi.
Nenun, Tradisi Suku Dayak Iban yang Masih Lestari
Dalam tradisi Dayak Iban, menenun bukan hanya soal membuat kain, tetapi juga mengajarkan kita tentang pentingnya menjaga alam. Sebab dalam proses pengerjaannya melalui beberapa tahapan yang sarat akan makna dan nilai-nilai dalam menjaga alam.
Begitulah yang saya ketahui dari Kak Margaretha Mala yang merupakan Ketua Komunitas Tenun Endo Sagadok. Di tengah banyaknya tradisi yang hilang seperti cerita saya di atas, ia tergerak dan terpanggil untuk mempelajari tenun, sehingga bisa meneruskan kepada anak-anak muda, pelajar dan siapa saja yang mau untuk belajar menenun.
“Dengan menenun, berarti saya ikut berperan serta dalam melestarikan nilai-nilai luhur budaya dan tradisi Suku Dayak Iban, khususnya menenun.” Ucap kak Margaretha saat mengisi materi online gathering Eco Blogger Squad, 28 Februari 2025.
Dalam menenun, Suku Dayak Iban menggunakan pewarna alam seperti renggat padi, mengkudu akar, engkerbai, sebagai upaya konservasi terhadap jenis-jenis tumbuhan yang ada di alam. Hal ini tentu dapat mengurangi pencemaran lingkungan akibat pewarna sintesis pakaian.
Prosesnya membutuhkan waktu lama karena ada beberapa tahapan yang dilalui seperti pembuatan pewarna alam untuk mewarnai benang yang akan digunakan dalam menenun, nakar/perminyakan dengan memperhatikan ketentuan khusus.
Misalnya nakar tidak boleh dilakukan pada saat orang meninggal dunia, wanita hamil dan menstruasi tidak dibolehkan mengikuti upacara nakar, proses pencampuran ramuan harus orang tua yang beruban, upacara nakar tidak boleh dilakukan di dalam rumah, dan benang yang sudah di nakar harus dimasukkan ke dalam rumah betang dan dijaga sepanjang malam.
Kak Margaretha berperan sebagai fasilitator ibu-ibu pengrajin Tenun Dusun Sadap untuk mempromosikan dan menjual kain tenun tersebut pada pembeli dari luar negeri. Bahasa halusnya ia menyebut pembeli sebagai pengadopsi tenun. Sebab dilihat dari pengerjaannya, tentu harganya tidak ternilai karena melibatkan banyak tahapan dan proses yang sakral.
Dengan adanya prosesi ini mengajarkan kita bahwa kearifan lokal mengajak kita untuk selalu menghargai dan melestarikan alam demi kebaikan bersama dan masa depan yang berkelanjutan.
Ecoprint Wujud Modern Keselarasan Alam
Kearifan lokal mengajarkan kita untuk hidup selaras dengan alam, dan trend Ecoprint merupakan wujud modern dari prinsip-prinsip tersebut. Ecoprint merupakan teknik percetakan yang memanfaatkan pewarna alami dari tumbuhan untuk menciptakan pola unik pada kain, kertas, atau material lainnya.
Teknik ini adalah inovasi kontemporer yang terinspirasi oleh tradisi-tradisi lokal dalam memanfaatkan alam secara bijak, sehingga dapat dikatakan bahwa ia mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal dalam praktik modernnya.
Seperti yang dilakukan oleh Novieta Tourisia, Founder Cinta Bumi Artisans menghubungkan metode dan teknik pewarnaan alami tradisional dengan kontemporer pada kain atau limbah kain.
Ia menyebutnya Upcycled Fashion, yaitu perjalanan sehat selaras melalui sandang berkesadaran dan berkelanjutan. Barang-barang yang sudah lama di lemari, diolah kembali dengan teknik Ecoprint sehingga menghasilkan karya yang luar biasa dan tentunya ramah lingkungan.
Saya mendapatkan satu paket Ecoprint Kit dari beliau. Saat online gathering Eco Blogger kami diajarkan cara membuat Ecoprint di atas Tote bag yang sudah disediakan. Beberapa alat seperti stik kayu, tali goni, dan dedaunan kering menjadi pengalaman seru bagi saya.
![]() |
Stik kayu dan tali goni yang digunakan untuk membuat Ecoprint, dokumentasi dari FB Cinta Bumi Artisans |
Meskipun sedikit ribet dalam pengerjaannya, tapi di sini saya belajar bahwa dengan kreativitas , inovasi, dan penghargaan terhadap alam alam, kita dapat menciptakan solusi yang indah dan berkelanjutan seperti yang dilakukan oleh nenek moyang kita terdahulu. Sehingga alam, lingkungan, dan budaya pun tetap terjaga dengan baik untuk generasi sekarang dan juga yang akan datang.